Beberapa waktu lalu, seorang
siswi ditemani bapaknya menghadap kepala sekolah. Siswi
tersebut berniat mengundurkan diri dari sekolah dengan alasan ketidakadaan
biaya. Bapaknya hanya seorang buruh
tani, dengan beberapa anak lain
yang harus dibiayai juga. Dengan hati miris, seketika saya teringat novel ini. Sebuah
novel yang diangkat dari kisah nyata. Saya ingin sekali siswi tersebut
membacanya.
Berkisah tentang gadis kecil
bernama Mayan. Anak sulung di keluarga miskin yang tinggal di daerah Zhangjiashu ,Cina. Wilayah ini merupakan
salah satu daerah yang mengalami
desertifikasi akibat kebijakan penguasa – Mao Zedong – dalam era kegilaan, atau yang dikenal dengan ‘ lompatan
jauh ke depan’. Pada masa itu beberapa desa di China diubah menjadi tungku peleburan besar demi meningkatkan
produksi baja. Semua pohon ditebang tanpa ada perencanaan untuk ditumbuhkan
kembali. Akibatnya, hingga kini
-setelah empat dekade dari masa
itu - dampak perusakannya masih terus dirasakan.
Mayan dan keluarganya
merasakan betapa beratnya kehidupan
mereka yang hanya menggantungkan pada sepetak ladang yang jarang
menghasilkan, seiring dengan hujan yang
tidak pernah turun lagi. Dalam situasi tersebut, ada kesadaran dalam diri Mayan
, bahwa hanya pendidikanlah yang dapat mengubah nasib mereka. Dengan ilmu yang
dimiliki , nasib keluarganya dapat diperbaiki.
Keyakinan ini demikian kuat, dan terus didukung oleh orang tuanya
terutama ibunya yang buta huruf.
Dengan sekuat tenaga orang tua
Mayan menabung yuan demi yuan demi menyekolahkan Mayan dan adik- adiknya.
Meskipun demikian, uang yang berhasil
diperoleh tidak pernah cukup untuk semuanya. Mayan sering harus berjalan kaki
sejauh 20 km karena tidak punya uang untuk naik angkutan. Rasa lapar adalah
rasa yang paling dikenalnya terutama saat dia
harus menabung untuk membeli peralatan tulis. Bahkan, Mayan juga
dihadapkan pada garis pembatas yang ada di lingkungannya, bahwa hanya anak
laki- laki yang umumnya bisa ke sekolah.
Dalam hal taraf hidup, mungkin
siswi yang saya sebutkan di awal tadi masih lebih baik dibanding Mayan. Lalu, mengapa siswi tersebut memutuskan untuk
menyerah? Salah satu penyebabnya adalah
tidak adanya keyakinan yang kuat bahwa pendidikan merupakan kunci pembuka masa
depan yang lebih baik. Sikap skeptis
tersebut memang rentan muncul, mengingat
pada kenyataannya di Indonesia , jumlah pengangguran terdidik semakin
meningkat.
Namun, bukan berarti saya
membenarkan tindakan siswi tersebut.
Saya sungguh menyayangkan. Apalagi, sekarang tawaran bantuan untuk siswa miskin atau
beasiswa sering ada. Saya sendiri, masih sangat yakin bahwa sekolah merupakan
kunci sukses untuk masa depan. Ilmu / keterampilan yang diperoleh dari sekolah,
ditunjang dengan keyakinan, usaha dan doa yang sungguh – sungguh merupakan
tiket menuju keberhasilan.
Berkaca dari sosok Mayan, saya
mengharap siswi tersebut mendapat suntikan semangat dan keyakinan untuk dapat
menaklukkan kemiskinan yang membelitnya. Oya, saya senang pihak sekolah cukup
bijak menanggapi pengunduran diri tersebut. Yang penting semangat belajar,
urusan biaya bisa dimusyawarahkan. Seperti kata wong Londo, ‘if there’s a
will, there’s a way. ‘ Yakinlah…!!!
NB : Jika sudah membaca buku ini dan penasaran dengan nasib Ma Yan selanjutnya bisa membuka http://en.wikipedia.org/wiki/The_Diary_of_Ma_Yan
Judul : Ma Yan
Penulis : Sanie B. Kuncoro
Penerbit : Bentang
Tebal : viii + 214 hlm.
Edisi : Cetakan 5, November 2009
ISBN : 978-979-1227-50-6
2 comments:
miris kl tau ada anak yang putus sekolah karena tidak ada biaya
iya mbak, lebih miris lagi ada yang menyerah krn 'kurang mampu' ditambah dengan minderan...
Post a Comment
thx for your comments..:)