“… hampir tidak ada persoalan besar di dunia ini, kecuali jika kamu sudah kehilangan keberanian untuk berharap.” ( Hlm. 444 )

Ada 16 siswa yang telah terseleksi untuk mengikuti 5 bulan pelatihan intensif di asrama tersebut. Dari 16 tersebut, hanya 12 siswa yang nantinya akan dikirim untuk mewakili Indonesia ke ajang olimpiade fisika internasional. Hal ini disengaja untuk menciptakan kondisi ‘kritis’ . Kondisi yang memaksa siswa untuk terus berusaha melangkah keluar menjadi pemenang.
Ya, mereka semua memang tekun belajar mati- matian. Namun, di sela- sela itu ada saja yang dilakukan untuk mengurangi ketegangan. Main game menjadi selingan mereka. Melontarkan gurauan kocak dan teka teki yang menghibur sering dilakukan oleh Made. Clara masih bisa membaca chicklit. Bahkan Khrisna, masih sempat melakukan percobaan – percobaan yang menghibur penghuni panti asuhan dekat asrama. Namun yang paling ekstrim adalah Bagas. Entah bagaimana caranya, dengan penggunaan internet yang dibatasi dia berhasil membobol situs kepolisian RI.
Walaupun telah sering mengantarkan para siswa di kancah internasional, FUSI sendiri sebagai organisasi non profit yang tergantung pada donasi, masih menghadapi masalah klasik, yaitu pendanaan. Seiring dengan pemberitaan negatif karena kasus Bagas, dan serangan akan keberadaan FUSI yang ‘hanya’ menciptakan siswa yang mahir mengatasi soal- soal di atas kertas, bukan ilmuwan sejati, para donatur melakukan pembatalan sepihak. FUSI berada dalam kondisi kritis.

Konflik yang diangkat pun beberapa pernah dialami Prof. Yohanes Surya dan ditulis di buku tersebut. Jadi bisa dikatakan novel ini adalah bentuk fiksinya yang dibuat lebih dramatis. Menjadi lebih menarik karena dilengkapi dengan kisah latar belakang beberapa penghuni asrama yang dapat dijadikan inspirasi bahwa dalam keterbatasan dan dalam kondisi yang tidak nyaman, tetap mampu merealisasikan cita- cita.
Namun, selain hal positif, ada satu hal membuat saya masygul di awal cerita. Salah satu peserta baru saja tiba di asrama FUSI dan dengan santainya merokok. Tidak dipungkiri bahwa banyak pelajar yang merokok. Tetapi sepertinya absurd merokok dilakukan secara terang- terangan oleh seorang siswa berprestasi sekaliber itu, wakil sekolah, dan wakil daerah. Mengingat larangan merokok sudah menjadi ‘norma’ umum dalam tata tertib semua sekolah .
Justru hal yang logis terjadi menurut saya, saat ada salah satu peserta yang keluar sifat liciknya, dan melakukan hal buruk karena terlalu takut akan kegagalan. Pasti banyak manusia seperti ini di kehidupan nyata . Ber- IQ tinggi , namun rendah integritasnya. Apa yang diputuskan FUSI kepadanya bisa menjadi pembelajaran bagi pembaca muda, akan pentingnya menjaga kejujuran dan persaingan yang sehat.
Novel ini perlu dibaca oleh para pelajar, penggemar fisika, dan cocok jika dijadikan koleksi perpustakaan sekolah.
Judul : Clara's Medal
Penulis : Feby Indirani
Penerbit : Qanita
Tahun : 2011
Hlm : 484
ISBN : 9786029225044
Penulis : Feby Indirani
Penerbit : Qanita
Tahun : 2011
Hlm : 484
ISBN : 9786029225044